Warisan Penjajahan Jepang yang Masih Hidup di Indonesia

 


    Jepang menduduki Indonesia selama 3,5 tahun dari tahun 1942 hingga 1945. Meski terbilang singkat dibandingkan dengan pendudukan Belanda, tapi Jepang memiliki beberapa peninggalan yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia.


Sistem RT (Rukun Tetangga): Jejak Tonarigumi di Indonesia

    Salah satu warisan paling mencolok dari masa penjajahan Jepang adalah sistem RT atau Rukun Tetangga. Tonarigumi diperkenalkan oleh Perdana Menteri Fumimaro Konoe pada 1940 dan mulai diperkenalkan di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, pada 1944. Selama Jepang menduduki Indonesia, mereka ingin pengaruhnya tersebar hingga sampai ke lapisan paling bawah. Setelah Jepang membubarkan 3A dan Putera, dibentuklah Jawa Hokokai pada 1944.  

    Di dalam Jawa Hokokai ada kelompok yang membantu Jepang sebagai mata-mata asing, yang disebut Tonarigumi. Baca juga: Perbedaan Jawa Hokokai dan Putera Ada lima hingga 10 kelompok rumah tangga dalam Tonarigumi. Jumlah yang sedikit ini mempermudah Ketua Tonarigumi atau Kumico (Pak RT), untuk mengenali warganya dan mengidentifikasi warga asing.

    Sistem Tonarigumi yang diterapkan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia bertujuan untuk memperketat kontrol serta pengawasan tentara Jepang terhadap masyarakat Indonesia. Selain itu, Tonarigumi juga mempermudah Kekaisaran Jepang untuk mengontrol warga serta memobilisasi sumber daya alam atau manusia demi kepentingan mereka dan memperkuat komunikasi antara pemerintahan Jepang dengan orang Jepang sendiri atau warga desa.

    Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, sistem Tonarigumi dihapuskan pada 1947. Walaupun Tonarigumi sudah resmi dihapus, sistem ini masih berjalan di Indonesia. Pembentukan Tonarigumi pada masa Jepang diadaptasi bangsa Indonesia menjadi Rukun Tetangga (RT). Rukun Tetangga tidak lagi digunakan untuk pelatihan militer, tetapi lebih condong ke kegiatan administrasi seperti pembuatan kartu identitas, mengurus kependudukan, pembuatan surat pernyataan, dan sejenisnya.

Pengaruh Bahasa dan Budaya

    Meskipun masa penjajahan Jepang hanya berlangsung singkat, pengaruh bahasa dan budaya Jepang tetap hidup dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa kata dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Jepang, menciptakan perpaduan harmonis dalam penggunaan sehari-hari. Selain itu, pengaruh budaya Jepang dapat dilihat dalam seni tradisional, bela diri, dan nilai-nilai estetika yang masih bertahan hingga saat ini.

    Beberapa kata dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Jepang yang dipinjam selama masa pendudukan, seperti "guru" (gurū) untuk mengajar dan "sepatu" (kutsu) untuk sepatu.
Pengaruh budaya Jepang juga dapat ditemukan dalam beberapa tradisi, seni bela diri, dan aspek kehidupan sehari-hari.

Infrastruktur Fisik

    Pemerintah Jepang pada masa itu turut membangun dan merenovasi infrastruktur fisik di Indonesia. Jembatan dan jalan raya yang dibangun selama penjajahan Jepang masih berdiri kokoh, menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Infrastruktur ini tidak hanya melayani sebagai sarana transportasi, tetapi juga sebagai saksi bisu perjalanan sejarah.

    Salah satu infrastrukturnya yaitu Bandara Frans Kaisiepo Biak

    Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak, Papua, pernah menjadi bandara dengan landasan pacu terpanjang di Indonesia, memiliki panjang runway mencapai 3.570 meter dan lebar 40 meter. Ukuran bandara ini tergolong sangat besar di era pasca-Perang Dunia II, dan karena landasan pacu yang panjang, Bandara Frans Kaisiepo pernah difungsikan sebagai bandara internasional untuk keperluan transit pesawat dari Jakarta dan beberapa negara Asia menuju Amerika Serikat, sebelum melintasi Pasifik.

    Sejarah Bandara Biak mencakup pembangunannya oleh Jepang pada tahun 1943 sebagai dukungan untuk armada pesawat tempur dalam Perang Pasifik. Bandara ini awalnya direncanakan oleh Jepang sebagai titik awal untuk menyerang Australia. Namun, setelah diambil alih oleh pasukan Sekutu di bawah pimpinan Letnan Jenderal L Eichelburger pada Juli 1944, bandara ini menjadi pangkalan militer Australia. Beberapa tahun kemudian, Bandara Biak diserahkan kepada Belanda dan berganti nama menjadi Bandara Mokmer. Pada periode ini, perusahaan maskapai Belanda KLM menggunakan bandara ini sebagai basis operasionalnya di Pasifik dan bahkan membangun Hotel Irian di dekat bandara. Setelah Papua diserahkan kepada Indonesia, Bandara Mokmer diubah namanya menjadi Bandara Frans Kaisiepo, diambil dari nama pejuang Papua pro-Indonesia.

    Meskipun masa penjajahan Jepang di Indonesia hanya berlangsung beberapa tahun, warisan mereka tetap hidup dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Seiring berjalannya waktu, perpaduan antara pengaruh Jepang dan warisan lokal menciptakan identitas unik bagi Indonesia, menggambarkan sejarah yang hidup dalam kehidupan sehari-hari.

    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hiroshima, Nagasaki, dan menyerahnya Jepang

Dasar Politik Ekspansi Raja Kertanegara dan Gajah Mada